Sabtu, 19 September 2015

Makalah Wahdatul Wujud









WAHDATUL WUJUD



MAKALAH
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu: Hj. Khusnul Khotimah, M.Ag.

Disusun oleh:
1.      Amani Fahmi Nur Khasanah          (1423301035)
2.      Andi Hidayat                                     (1423301036)
3.      Andri Setiono                                    (1423301037)
4.      Anik Faizatul Syafa                          (1423301038)
5.      Candra Apriliani Eka Pratiwi         (1423301039)
6.      Defan Zamathoriq                            (1423301040)

1 PAI B
PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2014





BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
          Wahdatul wujud adalah istilah kontroversial diantara kaum muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud pada khususnya, dan tasawuf pada umumnya, adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu yang berbahaya bagi umat islam, khususnya mereka yang awam, seraya menerima tasawuf sebagian yang berbahaya, seraya menerima tasawuf sebagai bagian yang integral dari Islam. Tapi bagi yang lain wahdatul wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik dalam Islam yang dalam beberapa hadist Nabi SAW disebut ihsan.


2.      Rumusan Masalah
          Makalah ini akan difokuskan pada:
1.      Apa pengertian wahdatul wujud?
2.      Siapakah tokoh yang mengembangkan wahdatul wujud?
3.      Bagaimana konsep wahdatul wujud menurut pandangan islam?
4.       Bagaimana cara mengimplementasikan wahdatul wujud?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wahdatul Wujud
          Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud memiliki arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah. [1]
          Paham wahdatul wujud  merubah sifat nasuf yang ada dalam Hulul menjadi Khalaq ( ﻤﺨﻠﻮﻖ : makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (ﺤﻕ : Tuhan). Keduanya (Khalaq dan Haq) menjadi suatu aspek, dimana  Khalaq sebagai aspek disebelah luar, dan Haq sebagia aspek sebelum dalam. Kata Khalaq dan Haq merupakan sinonim dari “Al-‘ard” dan “Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir”(lahir, dalam) dan ”Al-Batin” (batin, dalam).Aspek ‘Ard dan khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan Al-Jauhar dan haq mempunyai arti ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud pasti memunyai sifat kemakhlukan dan sifat ketuhanan.[2]
          Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang terpenting adalah aspek batin atau Al-Haqq yang merupakan hakikat essensi dan substansi. sedangkan aspek Al-Khalq, luar danyang tampak merupakan bayangan yang ada karena aspek yang pertama (Al-Haqq). Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhanyang, dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam Al-hulul, ingin melihat diriNya diluar diriNya, dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin Allah. Paham ini juga mengatakan seperti bahwa yang ada di alam ini terlihat banyak, namun pada dasarnya hanya satu. Hal ini sama halnya jika seseorang bercermin dalam beberapa kaca. Ia melihat dirinya terlihat banyak, namun sebenarnya hanya satu. Dalam Fushush Al-Hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution, pandangan wahdatul wujud ini terlihat dalam ungkapan hadist:
                                         
ﻮﻤﺎﺍﻠﻮﺠﻪﺍﻻﻮﺍﺤﺪﻏﻴﺮﺍﻨﻪﺍﺬﺍﺍﻨﺖﺍﻋﺪﺪﺖﺍﻠﻤﺮﺍﺒﺎﺘﻌﺪﺪﺍ
       wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”

          Sebagai pokok persoalan wahdatul wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. dan wujud dari selain tuhan hanyalah wujud bayangan-Nya. Pemikiran filasafat demikian berkembang dan  membias pada konsep insane kamil atau manusia sempurna. yang dimaksud manusia sempurna menurut Abdul Karim Al-Jili (w.1428 M) adalah manusia cerminan Tuhan. Yang dimaksud manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi aakriteria-kriteria tertentu.
          Tuhan adalah maha suci, Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci. Dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri dengan Tuhan sedekat mungkin, dan jika bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih hidup. Untuk mencapai macam insane kamil, seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam kehidupannya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohaniannya akan senaniasa diukur dengan Al-Quran dan sunah Nabi SAW.[3]
          Dalam dunia yang masyarakatnya berkembang, seringkali menghadapi problema  seperti kesenjangan antara nilai duniawiyah dengan nilai ukhrawiyah. Dalam situasi demikian tasawuf merupakan solusi pilihan untuk mengatasi masalah ini.
          Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih memilih ajaran tasawuf yang dapat memadukan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Maka saat-saat kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat untuk mengisolisir diri dari masyarakat, tetapi lebih untuk merenung, menyusun konsep, dan berinovasi untuk melakukan perubahan sosial dengan acuan Al-Quran dan hadist.

B.     Tokoh Wahdatul wujud dan Ajarannya
1.      Muhy Al-Din Ibnu Arabi
          Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Negeri negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal adalah buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lain          nya berjudul “Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat). [4]
          Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain ujud Khaliq. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”[5]
          Ringkasannya  tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan. Oleh sebab itu ada orang yang menyebut filsafat Ibnu Arabi ini panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengah Wahdah Al-wujud.[6]
2.      Syekh Siti Jenar
          Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama islam dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.

C.    Konsep manusia yang sehat dan sakit menurut paham wahdatul wujud
1.      Konsep manusia yang sehat
          Manusia adalah hamba tuhan karena tuhan telah ber-ilusinasi secara dzatiyah pada manusia sehingga manusia adalah dzat Tuhan-an, karena kejadiannya yang demikian itu ia disebut insan kamil atau nuskhat ilahi. Sedangkan manusia lain hanya menerima pancaran tajali saja, sehingga hanya beberapa aspek yang sama dengan Tuhan. Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan serta bersama Tuhan, artinya ia telah diberi Tuhan suatu kemampuan yang sama dengan Tuhan, sehingga seluruh perilakunya ialah atas nama Tuhan. Dari konsep diatas, jika dijalankan oleh manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia itu telah sehat.
2.      Konsep manusia yang sakit
          Manusia yang sakit dalam pandangan ajaran tasawuf wahdatul wujud ini adalah manusia yang tidak tahu tujuan Tuhan menciptakan alam dan dirinya sendiri. Kata Ibnu Arabi adalah agar Ia bisa melihat diri-Nya sendiri dalam bentuk yang dengan nampak jelas asma dan sifat-Nya. Kesadaran manusia bahwa ada wujud Tuhan esensial di alam ini tidak menyentuh hatinya bahkan mengingkari akal sehatnya.[7]

D.    Implementasi paham wahdatul wujud
          Setelah dipaparkan pengertian keterkaitan konsep wahdatul wujud yang bertujuan agar manusia menjadi insan kamil melalui proses sufistis dengan client yang datang kepada konselor ialah konsep penenangan diri dalam rangka mnemukan masalah yang ia alami menjadi manusia yang mandiri dan bebas. Prinsip yang khas dan dapat di implementasikan dari teori ini adalah ketauladanan yang sejati, artinya apa yang konselor lakukan dapat benar-benar dipahami. Konsep manusia yang sehat menurut tasawuf ini ialah manusia yang sudah mencapai derajat insan kamil, sebaliknya manusia yang sakit ialah manusia yang ragu terhadap sang Penciptanya. Apabila semua orang menerapkan maqom ini, dunia mungkin terlihat aneh, tidak ada aktivitas. Kehidupan akan terasa hampa seperti tidak ada penghuninya.
           Wahdatul wujud sebagai suatu ilmu mempunyai metode, dengan metode itulah fungsi dan tujuan serta aplikasi yang esensial dari ilmu ini dapat tercapai dengan baik, benar dan ilmiah. Terhadap seorang konselor pemahaman yang dapat ia terapkan dalam membantu kliennya maka ia harus mempunyai keyakinan yang dapat diraih melalui: ilmul yaqin ‘ainul yaqin, haqqul yaqin serta kamalul yaqin.
           Adapun prinsip-prinsip yang dapat dipahami dalam tasawuf Ibnu Arabi ini dalam pelaksanaan konseling maupun psikoterapi Islam ialah prinsip tauhid, prinsip tawakal, prinsip syukur, prinsip sabar, prinsip taubat nasuha, prinip hidayah Allah dan prinsip zikrullah.
Prinsip-prinsip yang khas dan dapat diimplementasikan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.      Harus ada kesabaran yang tinggi dari konselor.
2.      Konselor harus menguasai akar permasalahan dan terapinya dengan baik.
3.      Saling menghormati dan menghargai.
4.      Bukan tujuan menjatuhkan dan mengalahkan klien tetapi membimbing klien mencari kebenaran.
5.      Rasa persaudaraan dan penuh kasih sayang.
6.      Tutur kata dan bahasa yang mudah dipahami dan halus.
7.      Tidak menyinggung perasaan klien.
8.      Mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tepat dan jelas.
9.      Ketauladanan yang sejati. Artinya apa yang konselor lakukan dalam prose
10.  Konseling benar-benar dipahami di implementasikan dan dialami konselor.[8]






BAB III
PENUTUP
          Allah mutlak dengat keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan kata lain  Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci dari segala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan fenomena-fenomena alam. Jadi, penampakan-Nya itu sendiri tidak terbatas karena kalimatnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan tak bertepi. Dialah yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang Esa. Dialah penghimpun segalanya yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili Tasybih dan aspek keagungan mewakili Tanzih. Keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada dzatnya, namun keseluruhannya itu menunjukan kemutlakan yang tak terhingga.


















DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mustofa, Akhmad. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.




[1]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 247.
[2] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 275.
[3] Ibid, hlm. 276.
[4] Ibid, hlm. 278.
[5] Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 253-254.
[6] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 279.
[7]http://rusdimoh0.wordpress.com/2013/03/28/wahdatul-wujud/ diakses pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 19.39 WIB.
[8] Ibid.