WAHDATUL WUJUD
MAKALAH
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
Mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu: Hj. Khusnul Khotimah, M.Ag.
Disusun oleh:
1. Amani Fahmi Nur Khasanah (1423301035)
2. Andi Hidayat (1423301036)
3. Andri Setiono (1423301037)
4. Anik Faizatul Syafa (1423301038)
5. Candra Apriliani Eka Pratiwi (1423301039)
6. Defan Zamathoriq (1423301040)
1 PAI B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Wahdatul wujud adalah istilah kontroversial diantara kaum
muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud pada khususnya, dan
tasawuf pada umumnya, adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu yang
berbahaya bagi umat islam, khususnya mereka yang awam, seraya menerima tasawuf
sebagian yang berbahaya, seraya menerima tasawuf sebagai bagian yang integral
dari Islam. Tapi bagi yang lain wahdatul wujud adalah kulminasi dari
pengalaman mistik dalam Islam yang dalam beberapa hadist Nabi SAW disebut
ihsan.
2.
Rumusan Masalah
Makalah ini akan difokuskan pada:
1.
Apa pengertian wahdatul wujud?
2.
Siapakah tokoh yang mengembangkan wahdatul wujud?
3.
Bagaimana konsep wahdatul wujud menurut pandangan
islam?
4.
Bagaimana cara
mengimplementasikan wahdatul wujud?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wahdatul
Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat
artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya
ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud memiliki arti kesatuan
wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam.
Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu
yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah
digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan
antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya
alam adalah Qadim dan berasal dari Allah. [1]
Paham wahdatul wujud merubah
sifat nasuf yang ada dalam Hulul menjadi Khalaq ( ﻤﺨﻠﻮﻖ :
makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (ﺤﻕ :
Tuhan). Keduanya (Khalaq dan Haq) menjadi suatu aspek, dimana Khalaq sebagai aspek disebelah luar, dan Haq
sebagia aspek sebelum dalam. Kata Khalaq dan Haq merupakan sinonim dari “Al-‘ard”
dan “Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir”(lahir, dalam) dan
”Al-Batin” (batin, dalam).Aspek ‘Ard dan khalaq mempunyai
sifat kemakhlukan, dan Al-Jauhar dan haq mempunyai arti
ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud pasti
memunyai sifat kemakhlukan dan sifat ketuhanan.[2]
Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek
tersebut yang terpenting adalah aspek batin atau Al-Haqq yang merupakan
hakikat essensi dan substansi. sedangkan aspek Al-Khalq, luar danyang
tampak merupakan bayangan yang ada karena aspek yang pertama (Al-Haqq).
Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk dan
tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhanyang, dan yang sebenarnya ada
adalah wujud tuhan itu. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa
Allah sebagai diterangkan dalam Al-hulul, ingin melihat diriNya diluar diriNya,
dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Dengan
demikian alam ini merupakan cermin Allah. Paham ini juga mengatakan seperti bahwa
yang ada di alam ini terlihat banyak, namun pada dasarnya hanya satu. Hal ini
sama halnya jika seseorang bercermin dalam beberapa kaca. Ia melihat dirinya
terlihat banyak, namun sebenarnya hanya satu. Dalam Fushush Al-Hikam
sebagai dijelaskan oleh Al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution, pandangan wahdatul
wujud ini terlihat dalam ungkapan hadist:
ﻮﻤﺎﺍﻠﻮﺠﻪﺍﻻﻮﺍﺤﺪﻏﻴﺮﺍﻨﻪﺍﺬﺍﺍﻨﺖﺍﻋﺪﺪﺖﺍﻠﻤﺮﺍﺒﺎﺘﻌﺪﺪﺍ
“wajah
sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”
Sebagai pokok persoalan wahdatul wujud adalah yang sebenarnya
berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. dan wujud dari selain tuhan
hanyalah wujud bayangan-Nya. Pemikiran
filasafat demikian berkembang dan membias
pada konsep insane kamil atau manusia sempurna. yang dimaksud manusia sempurna
menurut Abdul Karim Al-Jili (w.1428 M) adalah manusia cerminan Tuhan. Yang
dimaksud manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap
sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi aakriteria-kriteria tertentu.
Tuhan adalah maha suci, Yang Maha Suci
tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci. Dan pensucian roh ini dapat
dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri
dengan Tuhan sedekat mungkin, dan jika bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan
semasih hidup. Untuk mencapai macam insane kamil, seseorang lebih senang dengan
menempuh cara hidup sebagai seorang hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan
seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam kehidupannya. Tentu
prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohaniannya akan senaniasa diukur
dengan Al-Quran dan sunah Nabi SAW.[3]
Dalam dunia yang masyarakatnya berkembang, seringkali menghadapi
problema seperti kesenjangan antara
nilai duniawiyah dengan nilai ukhrawiyah. Dalam situasi demikian tasawuf
merupakan solusi pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf
lebih memilih ajaran tasawuf yang dapat memadukan keseimbangan antara duniawi
dan ukhrawi. Maka saat-saat kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat
untuk mengisolisir diri dari masyarakat, tetapi lebih untuk merenung, menyusun
konsep, dan berinovasi untuk melakukan perubahan sosial dengan acuan Al-Quran
dan hadist.
B.
Tokoh Wahdatul
wujud dan Ajarannya
1.
Muhy Al-Din Ibnu
Arabi
Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu
Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia
mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Negeri negeri yang pernah ia kunjungi
anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan akhirnya ia menetap di Damaskus.
Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang
terkenal adalah buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah”
(pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12
jilid. Buku terkenal lain nya berjudul “Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat). [4]
Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah
sampai pada
puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan
renung pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya
dengan bacaan yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan,
fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud
itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain ujud Khaliq. Dalam Futuhat
Al-Makkah, Ibnu Arabi berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada
dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau
jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau Maka engkaulah yang sempit
dan lapang.”[5]
Ringkasannya tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan
bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan
Tuhan. Oleh sebab itu ada orang yang menyebut filsafat Ibnu Arabi ini
panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengah Wahdah Al-wujud.[6]
2.
Syekh Siti Jenar
Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang,
dan Lemah Abang. Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah
satu penyebar agama islam dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti
asal usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul Syekh
Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang
terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain
menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan
esensi Islam itu sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra
yang di buatnya meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar
adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang dinilai
bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan Walisongo
terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh
Walisongo.
C. Konsep manusia yang sehat dan sakit menurut
paham wahdatul wujud
1.
Konsep manusia yang sehat
Manusia adalah hamba tuhan karena tuhan telah ber-ilusinasi secara
dzatiyah pada manusia sehingga manusia adalah dzat Tuhan-an, karena kejadiannya
yang demikian itu ia disebut insan kamil atau nuskhat ilahi. Sedangkan
manusia lain hanya menerima pancaran tajali saja, sehingga hanya beberapa
aspek yang sama dengan Tuhan. Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang
memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan
serta bersama Tuhan, artinya ia telah diberi Tuhan suatu kemampuan yang sama
dengan Tuhan, sehingga seluruh perilakunya ialah atas nama Tuhan. Dari konsep
diatas, jika dijalankan oleh manusia, maka dapat dikatakan bahwa manusia itu
telah sehat.
2.
Konsep manusia yang sakit
Manusia yang sakit dalam pandangan ajaran tasawuf wahdatul wujud
ini adalah manusia yang tidak tahu tujuan Tuhan menciptakan alam dan dirinya
sendiri. Kata Ibnu Arabi adalah agar Ia bisa melihat diri-Nya sendiri dalam
bentuk yang dengan nampak jelas asma dan sifat-Nya. Kesadaran manusia bahwa ada
wujud Tuhan esensial di alam ini tidak menyentuh hatinya bahkan mengingkari
akal sehatnya.[7]
D. Implementasi paham wahdatul wujud
Setelah
dipaparkan pengertian keterkaitan konsep wahdatul wujud yang bertujuan
agar manusia menjadi insan kamil melalui proses sufistis dengan client yang
datang kepada konselor ialah konsep penenangan diri dalam rangka mnemukan
masalah yang ia alami menjadi manusia yang mandiri dan bebas. Prinsip yang khas
dan dapat di implementasikan dari teori ini adalah ketauladanan yang sejati,
artinya apa yang konselor lakukan dapat benar-benar dipahami. Konsep manusia
yang sehat menurut tasawuf ini ialah manusia yang sudah mencapai derajat insan
kamil, sebaliknya manusia yang sakit ialah manusia yang ragu terhadap sang
Penciptanya. Apabila semua orang menerapkan maqom ini, dunia mungkin terlihat
aneh, tidak ada aktivitas. Kehidupan akan terasa hampa seperti tidak ada
penghuninya.
Wahdatul
wujud sebagai suatu ilmu mempunyai metode, dengan metode itulah fungsi dan
tujuan serta aplikasi yang esensial dari ilmu ini dapat tercapai dengan baik,
benar dan ilmiah. Terhadap seorang konselor pemahaman yang dapat ia terapkan
dalam membantu kliennya maka ia harus mempunyai keyakinan yang dapat diraih
melalui: ilmul yaqin ‘ainul yaqin, haqqul yaqin serta kamalul yaqin.
Adapun
prinsip-prinsip yang dapat dipahami dalam tasawuf Ibnu Arabi ini dalam
pelaksanaan konseling maupun psikoterapi Islam ialah prinsip tauhid, prinsip
tawakal, prinsip syukur, prinsip sabar, prinsip taubat nasuha, prinip hidayah
Allah dan prinsip zikrullah.
Prinsip-prinsip yang khas dan dapat diimplementasikan
dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.
Harus ada kesabaran yang tinggi dari konselor.
2.
Konselor harus menguasai akar permasalahan dan terapinya
dengan baik.
3.
Saling menghormati dan menghargai.
4.
Bukan tujuan menjatuhkan dan mengalahkan klien tetapi
membimbing klien mencari kebenaran.
5.
Rasa persaudaraan dan penuh kasih sayang.
6.
Tutur kata dan bahasa yang mudah dipahami dan halus.
7.
Tidak menyinggung perasaan klien.
8.
Mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
tepat dan jelas.
9.
Ketauladanan yang sejati. Artinya apa yang konselor
lakukan dalam prose
10.
Konseling benar-benar dipahami di implementasikan dan
dialami konselor.[8]
BAB III
PENUTUP
Allah mutlak dengat
keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan kata lain Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci
dari segala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat,
dan fenomena-fenomena alam. Jadi, penampakan-Nya itu sendiri tidak terbatas
karena kalimatnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan tak bertepi.
Dialah yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada
hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang Esa. Dialah penghimpun segalanya yang
membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili Tasybih dan
aspek keagungan mewakili Tanzih. Keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada
dzatnya, namun keseluruhannya itu menunjukan kemutlakan yang tak terhingga.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Mustofa, Akhmad. 1997. Akhlak
Tasawuf. Bandung: CV
Pustaka Setia.
[1]Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.
247.
[2]
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 275.
[3]
Ibid, hlm. 276.
[4]
Ibid, hlm. 278.
[5]
Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012),
hlm. 253-254.
[6]
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 279.
[7]http://rusdimoh0.wordpress.com/2013/03/28/wahdatul-wujud/ diakses pada tanggal 10 Desember 2014
pukul 19.39 WIB.